Halaman

Senin, 21 Desember 2020

Mau pulang gini amat

Mau pulang aja banyak banget ceritanya. Ngajuin cuti yang sulit lah, harus berdebat sama bu bos, perubahan ketentuan rapid, dan lain-lain. Kalau boleh milih sebenarnya malas banget harus repot-repot begini, apalagi perjalanan Kepri ke Jogja itu nggak bentar, harus transit satu kali. Mana sekarang bandara Jogja makin jauh lagi dari rumah, itu lah yang menambah kegelisahanku untuk pulang. Mendekati hari H malah risau akutu.

Tapi kok kalau nunda pulang aku rasanya butuh banget pulang, udah mau gila aku setahun lebih belum pulang, ketemu orang tua, ketemu temen-temen, dan kehidupan-kehidupanku di Jogja, which is my hometown. Nek orang lain bilang Jogja itu istimewa karena udah kepenak tinggal di sana, ya Jogja istimewa buatku karena aku lahir dan menghabiskan 19 tahun tumbuh di sana. Kalau mau pulang dan kembali, ya aku pasti memilih Jogja sebagai tempat terakhir.

Kalau kata temanku, aku sudah seperti zombi. Berangkat kantor lesu, pulang tanpa ekspresi. Satu-satunya kegiatan yang membuatku senang dan bahagia cuma zumba, itu pun sudah bolong-bolong jadwalnya. Lemas seperti orang kurang vitamin, lesu seperti orang tidak imunisasi. Penyakitan tapi yang sakit jiwanya. Kalau aku nggak pulang Desember ini, 2021 mungkin aku sudah meringkuk dipojokan sambil memainkan rambut. Tanda-tanda gila.

Belum lagi peraturan rapid terbaru yang harus antigen. Keluar disaat orang sudah redi ke Bandara membawa tes rapid antibodi yang juga tidak murah. Mungkin ini cara pemerintah untuk memberikan pembatasan dan mengurangi penyebaran covid-19, tapi kok ya mendadak banget gitu lo. Seolah-olah semua bisa dilakukan/dikabulkan dengan satu jentikan jari. Yu piker ai aladin hah?

Satu lagi yang bikin aku bertanya-tanya dengan gusar. Kenapa kantor lain bisa mengajukan WFHB, sementara kantorku kaku amat dengan peraturan. Untung masih punya cuti. Untung masih ada tuh cuti tahun 2019 yang kepake cuma 6 hari. Terserah mau dibilang iri, ya jelas karena aku iri. Enak banget orang lain bisa pakai WFHB, sementara aku yang setahun lebih belum balik pun harus berdebat dulu sama bu bos untuk deal bisa cuti akhir tahun. Di mana keadilan? :)

Apa nggak ada gitu loh ya simpatinya, tahu kalau orang lain udah mulai gila & nggak waras karena kelamaan tidak pulang. "sAyA juGA bELoM pULAng mBaK." Nggak semua-semua tentang kerjaan. Emang hidupku udah nggak sama lagi, aku udah ada di dunia kerja, tapi bukan berarti harus meninggalkan keluarga dong! Situ enak, udah nikah, anak-anak sama suami ada di rumah yang sama. Gitu kok ya disama-samakan sama aku yang masih lajang, jauh dari orang tua?

Aku mah apa, rengginang aja mungkin lebih enak dipandang daripada aku.

Makanya pas aku pulang ini sudah bikin agenda, pertanggal sudah dibikin mau kemana, mau ngapain. Sorry banget kalau yang suka ngajak ketemuan tapi mendadak, jika nggak ada waktu, ya maaf nggak bisa ketemuan lah, lau piker. Waktuku itu TERBATAS dan BERHARGA. 

Senin, 09 November 2020

Saya Malas Berdebat

Kadang saya tuh suka malas kalau diajak berdebat tentang hal-hal yang tak penting dan cenderung meribetkan. Apalagi kalau yang ngajak berdebat ini suka sekali menyudutkan, membuat orang lain merasa terintimidasi, dan lain sebagainya. Ditambah saya kan masih terhitung anak muda yang melek dengan informasi, gosip, dan juga teori-teori konspirasi di dunia nyata. Bukan lagi anak sekolahan yang harus didikte. halah.

Sebagai seorang staf dan bawahan, maka tujuan saya bekerja adalah memenuhi keinginan dari atasan dan menjadi bawahan yang baik, manut, dan tidak neko-neko. Membanggakan gitu lah buat atasan nya, seenggaknya bisa gitu lo kalau direpotin. Nggak banyak mengeluh, semangat saat dikasih kerjaan seabrek walau bukan tupoksinya, dan datang tepat waktu. Kira-kira seperti itu lah yang saya dapat waktu ikut pelatihan sebelum benar-benar bekerja. Anak-anak ingusan seperti saya dulu ditakut-takuti banyak hal -yang sekarang jadi nggak masuk akal banget. Dan mau nggak jadi auto punya mental babu. Kalau tidak manut dipecut. (tergantung orangnya juga sih)

Kemarin barusan ada satu kejadian yang membuat saya pusing dan puyeng tujuh keliling. Bukan lebay bukan drama, tapi memang patut 'dipikir'. Ditambah desas-desus yang bikin saya jadi semakin nyebut Ya Allah ngene mending aku ternak lele. 

Selasa, 13 Oktober 2020

Kamu Impostor ya?

Punya teman atau saudara yang berkepala batu (bukan arti yang sesungguhnya) adalah cobaan yang memakan banyak space di hati dan pikiran. Untuk berusaha mengalah dan memahami apa yang mereka mau, walaupun kebanyakan pasti berlawanan dari pendapat dan kemauan kita. Paling terasa kalau berdebat tantang hal yang ngawang atau yang tidak memakai teori, tentang perasaan misalnya. 

Senin, 12 Oktober 2020

Intinya kita ini berbeda

Entah gua pernah ngomongin ini atau belum tapi di edisi kali ini gua hanya akan curhat saja tentang apa yang sedang gua rasakan menjadi pegawai kantor pusat yang ditempatkan di daerah. Dulu waktu masih jadi anak baru dan naif, gua berfikir It's ok to be here dibanding dengan ibu kota yang ramai dan biaya hidup yang tinggi. Pokoknya ada banyak pertimbangan kenapa gua tidak ingin ada di ibu kota, salah satunya karena gua tidak bisa hidup dalam suasana yang terlalu ramai. Yah seperti yang kita tahu ibu kota itu kan tidak pernah tidur. 

Tetapi makin kesini gua merasakan kesenjangan yang begitu besar antara pegawai yang ada di pusat dan daerah terutama kepulauan. Selain take home pay yang jelas berbeda, tapi bukan itu yang membuat gua iri. Duit mah bisa dicari. Kepuasan orang juga tidak diukur dengan uang saja. 

Kamis, 01 Oktober 2020

Ide Brilian Ku

 Kebutuhan orang akan sesuatu berbeda-beda. Jadi ketika ada orang lain yang membeli barang yang menurutmu itu tidak penting, belum tentu itu juga tidak penting buat dia. Ini mulai aku terapkan ketika teman-temanku sibuk memeriksa ponsel mereka dan menawarkan sebuah benda lucu yang (menurutku) tidak terlalu berguna dan tidak ada manfaat jangka panjang. Tumbler yang ada blendernya, misal.

Minggu, 20 September 2020

Jangan Hina Playlist Gue

Kalau sedang dalam perjalanan di mobil, kongkow-kongkow, atau berkumpul bareng teman-teman dan tiba-tiba ada yang nanya "Mau muter lagu apa?" gue dengan kalem akan menunduk dan pura-pura tidak dengar. Atau menjadi fake dengan membuka top10 playlist supaya bisa memberikan sumbang sih dalam percakapan.

Jujur selera musik gue aneh. Gue suka mendengarkan lagu-lagu yang bukan 'tren' dan lagu dalam negri tapi yang lawas-lawas. Kalau lagu jaman sekarang gue merasa kurang pas gitu, apalagi dengan bahasa indonesia kan, semakin mudah juga gue mengerti kalau lagu itu sampah. 

Senin, 07 September 2020

you hurt me

Honestly, deep down in my heart, I still can't accept what my friends have done. I used to be a simple person, wanting to express myself, seeking freedom, and inner peace. I couldn't even find that. They judged me, ignored me for a week, and did exactly what I had read in bullying stories.

Deep down in my heart... I felt that it was unfair. I am just like other people who want to express themselves, but they... they are so arrogant and seem to be suppressing me. Even though in the end they did a "good" thing by gathering people from my class, making a group without me, talking about me, etc. My foolish self felt, "Oh, please attack me, please isolate me as much as you want, it won't change anything!"

In the end, I stopped it, but not wholeheartedly. Everything went so awkwardly. Until this very moment, I feel observed, watched, and also feel resentment towards their judgmental behavior. I am still a teenager, I still need a place to express my emotions, to pour out everything that is in my head. Then suddenly people come, judge, ask with disgusting curiosity. Ask more sharply than a journalist's pen.

I am very angry. I want to explode. I want to yank their hair one by one and drag them to the edge of a cliff and push them with all my strength.

Do those people know that I never accepted all of their attitudes?

Do those people know that I have lost my rights?

Can't they understand me? Understand a Salma who is still a teenager, full of turmoil, rebellion, and possessed by the devil. Do they know about the mental illness that I have? Do they know that I once went to the doctor and asked, "Am I crazy, doc?"

It is impossible for me to say that. At that time, "mental illness" was not considered important, even though children of my age had the same problems. I tried to solve it myself. I tried not to hurt myself. But those people, unknowingly, had already hurt me. Hurt me in the deepest part. Destroying me far within.

How can I ask them to be responsible?

School counselor? Bullshit! I have never been able to trust anyone. I have a problem with trusting others. The darkest part of my life... let me know. I don't care about the darkest part of your life either. Don't interfere in other people's affairs, don't interfere in my affairs.




Kamis, 06 Agustus 2020

Pembaruan BLOG

Untuk satu atau dua minggu ke depan sepertinya gue akan memperbaiki tata letak dan juga tampilan di blog ini, karena tiba-tiba gue ingin kembali aktif menulis. Entah itu dengan 500 kata perhari atau lebih yang jelas gue ingin kembali produktif menulis, meskipun tidak akan memberikan dampak apa-apa di keuangan gue (seperti yang dibilang ummi) tapi setidaknya gue senang.

Dulu gue sempat hiring orang dengan bayaran cukup mahal kala itu sekitar 300-400ribu untuk mengerjakan blog gue. Ya dibuat tema nya yang bagus seperti punya blogger lain favorit gue, dibuatkan banner yang proper. Tetapi sepertinya gue nggak sreg dengan garapan nya. Entah karena dia terlalu minta mahal dengan hal yang biasa saja/gue bisa belajar itu di internet tapi karena keterbatasan waktu akhirnya harus bayar orang. 

Gue nggak menganggap halah cuma gitu doang ya. Gue sangat menghargai jasa dan kreatifitas orang lain. Gue mana bisa disuruh bikin banner sebagus ini. Meskipun gue tetep nggak sreg dengan hasilnya. 

Gue juga akan menghapus beberapa tulisan yang dirasa sudah nggak sesuai dengan image gue saat ini, pegawai kantoran yang penuh dengan kegelisahan. Kalau ditengok sekali lagi, gue pun geli banget sama tulisan-tulisan gue jaman dulu. Curhat menye, meme alay kpop, review MV nggak jelas ngikutin blog sebelah, dan masih banyak lagi. Pokoknya gue geli (lebih ke jyjyk).

Kemungkinan gue akan menulis panjang-lebar sesuatu yang nggak bisa ditulis di facebook karena ada orang tua di sana, dan juga di twitter karena terlalu sedikit, malas kalau harus bikin thread. Toh nggak bisa dilacak. Juga terlalu cringe kalau ditulis di buku harian. 

Gue harap siapa pun yang membaca blog ini, entah dapat darimana gue harap kalian bisa berpikiran luas, open minded, dan sebagainya. 

Bye!

-salm

Rabu, 22 Januari 2020

[Blah blah blah #1]

Gua sekarang lagi merasa benar-benar 'done' with my life. Sekarang rasanya aku bener-bener nggak tahu harus ngapain lagi, karena semua hal yang menyenangkan di hidup gua mungkin sudah menjadi membosankan. Sorry.

Kemarin gua baru melihat sebuah video tentang penjelasan sebuah penyakit/gangguan yang disebut dengan bipolar. Dan untuk beberapa menit gua berpikir kalau gua juga seorang yang memiliki gangguan bipolar ini. Berdasarkan ciri-ciri yang disebutkan oleh orang itu, ya gua ada lah 8 dari 10 gitu.

Salah satunya adalah rasa senang yang mendadak, rasa sedih yang mendadak, mood yang berantakan, dan lain sebagainya. Dibandingkan dengan mood swing, gua lebih ke mood yang mudah dipengaruhi orang. Atau mudah dipengaruhi oleh sesuatu. Bukan karena gua ini tidak kuat dan mudah goyah, tapi memang kalau ada sesuatu yang ingin dipisuhi biasanya 100% gua akan berubah.

Sementara temen gua ya hanya hitungan jari. Kalau bosan dengan yang satu, gua mau ke siapa lagi? Ini bukan temen yang seperti 'teman' ya, tapi orang yang gua anggap sebagai teman adalah orang yang gua merasa nyaman dan gua enak ngobrol sama dia. Bisa dibilang gua sudah mempercayai dia lebih dari gua mempercayai hape gua sendiri.

Ditambah kehadiran Fafa (adik gua) yang tiba-tiba entah tidak ada angin tidak ada hujan ternyata memilih penempatan OJT (on the job training) nya di kota yang sama seperti gua, Tanjungpinang. Di satu sisi gua merasa senang karena oke akhirnya ada orang yang tahu dalem-dalem nya gua, nggak perlu lagi nyari orang buat bantu-bantu. Tapi gua juga merasa kebebasan gua sedikit terenggut.

Ummi bilang ke gua untuk Tolong jagain fafa ya. Ummi titip Fafa sama kamu. Dan yaudah, I'm fine with that. Gua bisa kok jadi kakak yang baik, kalau adik nya nggak bertingkah kayak tahi. Iya, gua sama dia itu sama-sama punya mood yang berantakan. Cuma bedanya gua bisa ngatur itu semua, sementara dia tidak.

Dia nggak peduli dengan kondisi di sekitarnya dengan perubahan mood, sementara gua meskipun mood nya berantakan tetap tidak mau membuat orang lain merasa tidak nyaman. Ngerti nggak?

Gua bisa mengontrol emosi, meskipun gua marah. Meskipun gua kecewa dengan sesuatu, meskipun gua benci dan ingin muntah di depan muka orang yang sedang gua 'benci' gua bisa menahan itu dan bilang kalau "I'm fine bitch, don't worry." Tapi kalau Fafa enggak!

Karena orang-orang ini nggak selayaknya diperlakukan salah hanya karena mood gua yang bermasalah. Gua jadi ingat sebuah tweet entah dari siapa. Pokonya intinya adalah Lo boleh badmood dan sebagainya, tapi jangan bertingkah aneh-aneh seperti cuma lo yang hidup di dunia ini.

Gitu.

Mungkin saat gua menulis ini gua sedang dilanda sebuah rasa tidak suka dengan seseorang atau mungkin gua hanya sedang bosan saja. Mengalihkan pandangan dari deretan data dan beralih kemari. Suatu saat jika tulisan ini udah nggak ada, berarti gua sudah menyadari betapa kekanak-kanakan tingkah gua ini.

Fuxk you.

Diagnosa yang terlalu dini, Alzeimer?

Hi guys~ Selamat datang kembali ke blog amatir ini. Terimakasih sudah meluangkan waktu kalian untuk bergabung dengan gue disini, menuli...