Halaman

Senin, 09 November 2020

Saya Malas Berdebat

Kadang saya tuh suka malas kalau diajak berdebat tentang hal-hal yang tak penting dan cenderung meribetkan. Apalagi kalau yang ngajak berdebat ini suka sekali menyudutkan, membuat orang lain merasa terintimidasi, dan lain sebagainya. Ditambah saya kan masih terhitung anak muda yang melek dengan informasi, gosip, dan juga teori-teori konspirasi di dunia nyata. Bukan lagi anak sekolahan yang harus didikte. halah.

Sebagai seorang staf dan bawahan, maka tujuan saya bekerja adalah memenuhi keinginan dari atasan dan menjadi bawahan yang baik, manut, dan tidak neko-neko. Membanggakan gitu lah buat atasan nya, seenggaknya bisa gitu lo kalau direpotin. Nggak banyak mengeluh, semangat saat dikasih kerjaan seabrek walau bukan tupoksinya, dan datang tepat waktu. Kira-kira seperti itu lah yang saya dapat waktu ikut pelatihan sebelum benar-benar bekerja. Anak-anak ingusan seperti saya dulu ditakut-takuti banyak hal -yang sekarang jadi nggak masuk akal banget. Dan mau nggak jadi auto punya mental babu. Kalau tidak manut dipecut. (tergantung orangnya juga sih)

Kemarin barusan ada satu kejadian yang membuat saya pusing dan puyeng tujuh keliling. Bukan lebay bukan drama, tapi memang patut 'dipikir'. Ditambah desas-desus yang bikin saya jadi semakin nyebut Ya Allah ngene mending aku ternak lele. 

Ngomongin tentang kebebasan perpendapat, saya mungkin nggak punya itu. Teman-teman saya juga nggak punya itu. Punya sih, cuma dikekang, dibatasi, dan diawasi. Jangan sampai mulut-mulut nan elok ini mencoreng nama instansi atau perusahaan. Ujung-ujungnya saya cuma bisa sambat dan nggedumel sama rekan kerja, atau teman di rumah. Orang tua nggak akan relate, teman-teman yang lain pun nggak akan relate. Salah-salah nanti malah keceplosan ngomongin rahasia perusahaan. 

Susah lah.

Sekarang saya paham kenapa banyak orang yang sudah kerja tau-tau gila. Memang kalau nggak kuat iman dan takwa pasti jadi pikiran. Makanya harus cari teman yang banyak, backingan yang banyak, siapa tau bisa minta pindah dan mutasi ke tempat yang diinginkan. hehe. Ngguyu boleh lah. #emosijiwa

Kalau ketemu teman gitu, apalagi pas pulang ke Jogja saya juga jadi aneh kalau ngobrol sama teman-teman yang beda. Beda di sini bukan Ayah mengapa aku berbeda, tapi karena jalan yang kami ambil ini beda. Saya yang sudah kerja di usia muda, dan yang lain masih mengejar mimpi mengurus skripsi atau sedang sibuk berorganisasi. Kalau dikatain "Enak ya kamu sudah kerja." Rasanya ingin saya plintir kepala orang itu dan dijadikan gangsing. menengo cok.

Saya pingin banget ngobrol dan ketemu sama temen ya ngomongin berita atau kabar-kabar yang ada di sekitar gitu loh. Bukan ngomongin diri sendiri, atau ngomongin kabar terus. Saya baik-baik saja kok, cuma rada stres. Bisa dilihat kan dari postingan sosial media saya. Eh, di follow dulu dong. HEHEHEHE.

Kesempatan saya pulang itu sedikit, hanya setahun dua kali. Terkendala waktu dan biaya transport. Apalagi di saat pandemi begini, mau pulang pun rasanya eman duite. Mending disimpan untuk nyicil rumah keong. Nah, kalau pas pulang ketemu nya sama orang yang mboseni dan malah ngorek-ngorek saya, nanyain gimana kerjaan saya ya, apa gunanya pulang bangsat. Lebih baik saya tetap di kantor dan termenung di depan komputer, sambil menunggu otak saya terpapar radiasi dan cipratan tinta printer.

Mau cuti pun susah. Beneran susah ya, saya nggak bohong dan ngadi-ngadi. Apalagi kalau di hari-hari penuh dengan hari libur. Mau nyambung cuti pun harus rebutan dengan yang lain. Paling sebel kalau sudah bawa-bawa keluarga, "Tolong lah dik, aku kan udah ada anak istri. Coba lah nanti kamu pasti kalau udah nikah pasti ngerti.". HEH. Saya juga punya keluarga, teman, dan adik yang nunggu-nunggu saya pulang tiap tahun. Nanyain "Mbak kapan pulang?" dan cuma dijawab "Belum tahu." 

Tolong dong putarkan bgm yang sedih biar saya nangis.

Dulu sebelum bekerja dan masih duduk di bangku SD saya sudah seneng baca buku. Salah satu buku yang saya baca adalah My Stupid Boss, sekarang sudah ada film nya. Dulu buku itu adalah sebuah hiburan dan bikin saya ketawa ngakak. Tapi sekarang ketika terjun langsung di dunia kerja yang sangat dinamis dan penuh tekanan, akhirnya saya paham kalau semua kepenatan dan stres itu harus dibawa hepi *gundulmu hepi!*. Semua harus dibuat lucu, biar nggak gila. Terus ditemukan di pinggir jalan sedang melamun. "Kasihan orang ini pasti hidupnya berat banget."

Penulis My Stupid Boss berhasil menjadikan unek-unek nya menjadi sebuah buku yang lucu, menghibur, dan dibeli oleh orang-orang dari kalangan pekerja yang mashook dengan semua lelucon nya. Dulu saya masih bocil tapi relate, *jangan tanya kenapa ya emang unik aja selera humor saya*. Ibunya Nadia (teman waktu SD) yang bekerja di instansi yang sama seperti saya saat ini, dulu juga punya koleksi My Stupid Boss dari awal sampai akhir. Kebetulan, si penulis memang orang Jogja. Jadi mungkin waktu gabut dulu.. dia mikir 'ah lebih baik kucetak semua deritaku, biar semua orang tau betapa koploknya bosku.'

Memang tulisan kali ini curhat intinya tentang lika-liku hidup seorang pekerja yang diberi musibah seorang atasan yang menyebalkan. Saya nggak mengutuk dan mengata-ngatai orang, karena saya pun sadar, mungkin saya juga menyebalkan bagi dia. Kan nggak ada yang tahu. Isi hati orang siapa sih yang tau? Hanya Tuhan.

Dahlah! Saya mau semedi dulu. Siapa tau dapat ilmu dan mendapat kesabaran extra.

hhh. BYE.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH THANKS AND GOMAWO

Diagnosa yang terlalu dini, Alzeimer?

Hi guys~ Selamat datang kembali ke blog amatir ini. Terimakasih sudah meluangkan waktu kalian untuk bergabung dengan gue disini, menuli...