Halaman

Minggu, 03 Maret 2019

Dilan 1991

Di awal bulan itu paling enak menghabiskan uang dengan menonton bioskop. Tapi tiba-tiba saja saya enggan pergi ke bioskop dan menonton film, karena dari satu bioskop dan enam studio di dalamnya, isinya hanya memutarkan satu film saja. Satu film yang sedang tayang dan satu film pre-order. Jadi bisa dibilang itu adalah satu film yang menguasai studio. Anjir.


Saya heran kenapa film seperti itu laris manis? Apa karena ceritanya yang sudah sangat terkenal? Iya iya, saya perjelas aja, itu adalah Dilan 1991. Film yang menjadi sequel Dilan 1990. Film yang jalan ceritanya saja sudah ketahuan di novelnya tetapi kenapa orang-orang berbondong-bondong menonton juga?
Kenapa sih lo nggak bisa banget lihat orang seneng?
Bukannya saya nggak bisa lihat orang senang, tapi kalau satu bioskop dikuasai oleh satu film yang sebenarnya sudah ketahuan endingnya, apa itu tidak melanggar hak asasi saya sebagai penikmat film lainnya? Tapi itu semua kembali ke selera masing-masing sih. Lagi-lagi soal selera. Kamu mungkin memang orangnya 'pengagum senja'. Kalau saya orangnya realistis aja. 

Alasan saya nggak terlalu suka dengan tokoh Dilan dan kisah cintanya yang dibesar-besarkan. Sebenarnya mungkin kalau dalam novel saya masih bisa nerima kalau Dilan adalah orang yang guombal abis. Kalau dilihat dari garis besarnya, itu sih hanya semacam kisah cinta anak SMA biasa. Cuma di jamannya, masih belum ada android, belum ada twitter, belum ada instagram, jadi terkesan lebih pure dan lebih manis.

Bayangkan kalau Dilan x Milea ini ada di era modern anak milenial seperti sekarang? Makin eneg dong saya! Nonton trailer nya saja sudah membuat jantung saya ini tak karuan saking tidak kuatnya. Iqbal cakep kok, dia cocok banget jadi Dilan, cuma dialog line nya yang bikin saya lebih baik mendengarkan Jom Jom Manjalita. 

Ternyata penikmat film Dilan 1991 ini bukan hanya anak remaja SMP-SMA saja, teman saya yang usia nya sudah hampir masuk kepala tiga saja ternyata memborong satu deret kursi untuk menonton Dilan beramai-ramai. Waktu saya tanya apa genre nya, dia jawab komedi. Kan saya semakin tidak mengerti harus mengklasifikasikan film ini sebagai apa?

Dari film Dilan jika di tarik benang merahnya, maka saya akan menyimpulkan bahwa cinta itu tidak semata-mata tentang memiliki. Kisah cinta itu tidak selamanya indah seperti kisah Cinderella. Kadang cinta itu kalah oleh gengsi. Tahu kan kenapa Dilan dan Milea putus? Karena Milea gengsi banget mau makan omongannya sendiri. Kalau nggak bisa percaya sama orang, kenapa dari awal mempercayakan 'hati' mu untuk orang itu?

Oh inget. Mereka kan masih pacaran, jadi sah-sah aja putus. Kehidupan percintaan orang pacaran itu nggak seribet orang yang sudak menikah kok, percaya lah. Jadi kalau ada kawan kamu yg curhat tentang bagaimana runyem nya hidupnya karena pacarnya, mendingan tidak usah diambil pusing. Toh kalau putus kamu bisa mencari yang lainnya. Secepat Milea melupakan Dilan. #EA

SALAM DARI JOMBLOWATI!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH THANKS AND GOMAWO

Diagnosa yang terlalu dini, Alzeimer?

Hi guys~ Selamat datang kembali ke blog amatir ini. Terimakasih sudah meluangkan waktu kalian untuk bergabung dengan gue disini, menuli...