Halaman

Selasa, 18 April 2017

Kucingku Sayang Kucingku Malang

“Miaww miaww miaww.” Sejak malam itu aku terus mendengarmu menangis karena kedinginan dan kelaparan. Bagaimana kabar mereka? Sudah seberapa besar? berapa yang masih hidup bersamamu? Kuharap kalian baik-baik saja.
Aku tidak pernah merasa begitu sayang pada hewan, bahkan pada si Kai -ikan koki peliharaan yang sudah lama mati. Coba tanyakan padaku tentang ‘hewan apa yang paling aku sukai’. Jawabannya adalah, semua hewan kecuali insect dan reptil, please jangan coba-coba ngasih aku ulat atau belalang atau aku akan teriak sampai kaca jendela pecah. #okelebai
Ini mungkin akan menjadi kisah ter-menyedihkan, ter-menye, dan ter-lebai yang akan kalian baca. Salah satu kisah dari ke-absur-an hidupku. Tolong dibaca saja, jangan banya bicara apalagi berpikir yang aneh-aneh. Ini serius. Kalau aku ingat hari itu rasanya dadaku sesak. Ingin menangis lagi rasanya.


Hari Jum’at berbulan-bulan yang lalu -tepatnya menjelang libur natal, di pagi hari ada seekor kucing yang kelihatannya sedang hamil tua. Perasaanku mengatakan sebentar lagi akan ada natalitas (awyeah sosiologi sekali bahasanya kak) di sekitar kosku. Benar saja, sepulang dari jum’at sehat kucing itu sudah mengeong-eong di depan pintu kos sambil menjilati anak kucing. Ada empat ekor aku hitung semuanya. Uhh lucu sekali. Aku tidak kuasa menahan jiwa keibuan yang ada dalam setiap diri wanita normal. Bukan berarti aku ingin menyusui anak kucing itu, tapi aku ingin ikut mengurus mereka meskipun entah mereka kucing liar atau ada yang punya.
Dua hari kucing itu ada di depan pintu bersama anak-anaknya. Kasihan. Apalagi hujan sering turun deras disertai angin. Pernah di suatu malam aku bangun dari tidur karena mendengar suara hujan dan keluar untuk menutupi mereka dengan triplek. Beberapa kucing garong pun sering lewat dan membuat induk kucing ini merasa tidak nyaman. Oh tentu saja aku ikut-ikut mengusir. Hahaha. Gabut  sekali kak.
"Tadi macam ada yang cakap 'ikan teri', mana ikan teri?"
Sejak kucing itu ada di sini, aku jadi tahu kebiasaan kucing yang baru melahirkan. Salah satunya berpindah-pindah tempat supaya menjaga anak-anaknya dari pemangsa, meskipun sebenarnya itu jauh lebih berbahaya karena semua anak kucing itu buta dan tuli hampir selama dua minggu sejak dilahirkan. Jadi seharusnya pemilik kucing menyediakan tempat yang aman dan hangat untuk induk dan anak kucing. Oke, itu semua aku baca di internet. Terima kasih mbah gugel.
Karena kelima makhluk itu juga aku jadi selalu membeli makan dengan lauk ikan. Aku makan separuh ikannya dan separuhnya lagi untuk induk kucing, tidak lupa kucampurkan dengan nasi jadi seperti tim untuk bayi. Kalian harus tahu rasanya bagaimana hewan/makhluk lain makan dari makanan yang kalian beri. Dimakan sampai habis. Rasanya bahagia. Sebagian stresku juga ikut kemakan sama kucingnya, mungkin. Heheheh.
Selama dua minggu libur natal aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain, membelai-belai anak kucing, memberi makan induknya, dan melihat mereka tidur dengan nyenyak di ember besar yang aku sediakan. Rupanya ingin menjadi majikan yang baik. Pernah suatu sore aku lupa membeli ikan karena sedang malas makan dan si induk terus mengeong mendekatiku minta makan, tapi aku gak punya apapun kecuali biskuit. Maafkan aku say.
Sebenarnya Ummi melarang aku untuk memelihara kucing. Alasannya kalau bukan karena bulu, virus tokso, yaa karena kucing itu eeknya bau. Woi, namanya juga tahik ya pasti bau busuk. Tapi di sini, ini kesempatan bagus untuk bisa melihat proses pertumbuhan kucing dari yang sebesar tikus celurut sampai sebesar marmut. Pengalaman yang cukup menyenangkan.
Tiba lah waktu yang sangat tidak disangka-sangka. Ibu kosku pulang dari liburan dan menemukan kucing ada di ruang TV. Malam hari nya terdengar keributan dari ruang TV menyebut-nyebut ‘kucing’ dan aku bergegas keluar kamar. Kulihat Ibu dan Bapak berdiri di depan pintu sambil ngomel-ngomel (ibu sih yang ngomel). Ibu juga cepat-cepat mengambil kain dan mengepel seluruh ruang TV.
“Aku gak bisa makan kalau ada kucing! Baunya itu loh amis!”
“Tapi bu, kan kucingnya bisa ditaruh di luar rumah aja.” Aku mencoba membela.
“Nggak, pokoknya Pak itu buang aja sana di gunung!”
WHAT THE CAT! Mataku langsung melotot. “Kucingnya mau dibuang bu?”
“Enggak dibuang kok mbak, cuma ditaruh di gunung.” Jawab bapak dengan polos.
Itu sama aja dasar ikan teri!
Aku duduk di depan pintu lama. Sambil melihat kedalam ember. Melihat keempat kucing kecil itu sebentar lagi segera meninggalkan rumah ini. Shit. Dadaku sesak. Aku mungkin bukan majikan mereka, aku juga tidak tahu mungkin mereka kucing liar. Tapi mereka juga makhluk hidup. I mean, kalian bayangin gak sih ini lagi musim hujan. Setiap malam hujan angin dan Bapak mau buang mereka di gunung? Yang bener aja, kucing.
“Tunggu induknya dateng terus masukin karung, buang ke gunung pak!” Ibu kembali menggila.
Karung katanya?! Karung itu buat beras dasar sinting, bukan kucing! Aku memandang Ibu dengan mata penuh api kebencian. Tanganku masuk ke dalam ember dan membelai keempatnya. Hangat. Tapi nanti kalian tidak tahu masih bisa sehangat ini atau tidak. Persetan dengan bau amis! Aku ingin menangis!
Setengah jam aku duduk di situ. Sambil memutar otak bagaimana bisa menyelamatkan mereka. Karena aku gak akan bisa tidur malam ini kalau mereka beneran dibuang. Kalian pernah lihat film animal documenter tentang harimau yang bertahan hidup bersama dua ekor anaknya dari kejaran pemburu dan hewan buas lain? Berakhir dengan si induk yang mati karena ditembak pemburu dan kedua anaknya harus bertahan hidup? Menelusuri hutan yang begitu luas dan mencoba hal-hal baru tanpa ada pendampingan dari induknya? Manusia tuh memang gak pernah berhenti memikirkan dirinya sendiri. Tay.
Sepertinya memang mereka akan tetap dibuang meskipun aku protes dengan berbagai macam alasan. Karena yakin tidak akan kuat melihat kucing-kucing itu dikarungi, aku memutuskan masuk ke kamar saja dan.. merasakan jantungku berdegup begitu kencang. Rasanya mau marah, mau nangis, mau makan, mau.. memukul sesuatu supaya amarahnya hilang. Ugh! Kuputuskan untuk menulis saja sambil berurai air mata.
Why you do this to me, hooman. 
Man, aku gak alay. Aku cuma sudah terlanjur sayang. Ibaratnya seorang ibu yang sudah membesarkan anak tiri dan anak tiri itu menggemaskan, gak banyak rewel tapi malah mau dibuang. Oke, ini bukan permisalan yang bagus memang. Tapi.. apa ya.. sampai sekarang kalau ingat masalah itu pasti perasaan ini jadi kacau. Sedih. Kenapa aku tidak pernah punya kesempatan untuk menunjukkan sisi penyayangku. Setidaknya kalau bukan ke pacar kan bisa ke kucing.
Aku suka iri kalau lihat orang yang memelihara kucing di rumahnya, atau kalau melihat postingan orang di instagram tentang tingkah lucu kucingnya. Apalagi kalau dosen bahasa inggrisku mulai bicara tentang kucing-kucingnya, dan terakhir -setelah stalking beliau, aku tahu kalau kucing di rumahnya ada dua puluh. Syit, itu melihara kucing atau ternak kucing.

Begitu lah akhir cerita ini. Kucingku sayang, kucingku malang. Tissu mana tissu
Kakak sedang kasih makan 

Kakak coba sentuh aku 

Kitty

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH THANKS AND GOMAWO

Diagnosa yang terlalu dini, Alzeimer?

Hi guys~ Selamat datang kembali ke blog amatir ini. Terimakasih sudah meluangkan waktu kalian untuk bergabung dengan gue disini, menuli...