Halaman

Sabtu, 11 Maret 2017

Homesick


“Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Rasanya separuh diriku hancur. Aku tidak tahu harus bagaimana. Rasanya sangat lesu dan membuatku sangat mengantuk. Aku tidak ingin melakukan apa pun. Aku hanya ingin diam dan menunggu jawaban, sebenarnya apa yang sedang terjadi.”
Apakah kalian tahu apa itu homesick? Beberapa hari yang lalu aku terkena homesick hampir dua minggu full. Padahal dulu di hari pertama aku menginjakkan kaki di kota ini semuanya baik-baik saja. Semuanya berjalan normal, sangat normal malah. Ketika teman-teman yang lain sibuk menghubungi orang tua mereka di kampung halaman, aku hanya mendengarkan curahan hati mereka yang katanya merindu. Ketika mereka semua bercerita bagaimana mata mereka bengkak di pagi hari karena menangis semalaman, aku hanya menjadi pendengar yang baik.

Ternyata sekarang semua itu seolah-olah berputar arah. Aku benar-benar ‘sakit’ dan membutuhkan ‘sesuatu’ untuk menghilangkan sakitnya. Di awal aku kembali ke kamar kos, aku langsung teringat dengan pesan Ummi, “Begitu sampai kamar langsung bersih-bersih. Jangan lupa beli makan dulu sebelumnya, biar habis beres-beres langsung bisa makan malam.” Aku melakukan apa yang dipesan Ummi.
Debu menumpuk di atas meja, di atas lemari, bahkan kamar mandi juga menjadi kotor padahal jelas tidak ada yang memakainya selama sebulan. Aku menemukan dua mayat kecoa yang mengambang di lubang kloset. Meskipun jijik aku tetap membersihkannya, toh aku juga yang akan menggunakan kamar mandi itu. Setelah itu aku memasang sprai dan kawal bantal. Untung sebelum pergi aku sudah membersihkan semuanya, jadi istilahnya hanya tinggal memoles sedikit dan semua akan kembali bersih.
Kemudian aku mulai membuka koper dan mengeluarkan barang-barang bawaan dari Jogja. Ada canguk (dibaca cang-uk makanan dari Bantul), susu, termos, apel malang 2 kilo, klorofil, minyak ikan, oleh-oleh untuk ibu kos, dan masih banyak lagi. Baju-baju kumasukkan ke dalam lemari, semua kutata dengan rapi. Tiba-tiba entah bagaimana, aku merasa begitu sedih. Sangat sedih. Rasanya aku ingin menangis dan yeah pecahlah sudah air mata.
Aku bicara dengan Mega lewat Line Messanger:
“Meg kayaknya gua homesih deh.”
“Kan apa juga aku bilang.”
“Rasanya aku mau nangis Meg. Lu ikut bakar-bakar?”
“Udah keluarin aja, dari pada nggak enak. Makanya aku udah bilang kalau balik ke sini jangan mepet-mepet, kan jadinya homesick. Kagak gua kagak ikut.”
“Yaudah sama. Dah ya, gua mau nangis dulu.”
“Yoi.”
Benar. Bukan hanya sekedar bualan lewat chat saja. Aku beneran nangis. Menangis seperti anak kecil yang ditinggal ibunya di TK di hari pertama masuk sekolah. Secengeng ini kah aku? Memalukan. Tapi tidak bisa dipungkiri memang begini adanya. Aku tidak kuasa menahan kesedihan. Seolah-olah hati ini berbisik, “Aku ingin pulang.” Apa daya besok sudah masuk kuliah dan sebulan itu sudah terlalu lama untuk masa liburan (walaupun tidak terasa sama sekali cih).
Kutuliskan isi hatiku pada buku harian yang tanggalnya selalu lompat-lompat, tanda jarang diisi. Tapi untung masih ada buku harian yang selalu menyelamatkan kegelisahan hati. Tipikal orang yang jiwanya merasa lebih baikan setelah menulis. Yeah. Bayangan IP juga semakin memperburuk keadaan. Tatapan mata teman-teman yang sudah menghantuiku, “Si ogeb apa kabar?” Entah kenapa aku bisa sepicik ini.
Hari Senin dua mata kuliah tiga SKS yang semuanya membuat kepalaku semakin berat. Hell yeah this is not a good beginning. Mau mati rasanya. Di kepala ini masih ada pikiran-pikiran, “What if.. what if.. what if..” Sebegitu depresinya. Tentu saja aku menelpon Ummi, menghabiskan sisa kuota telpon dengan menceritakan kalau aku homesick. Hanya supaya aku merasa lebih baik dan ummi juga tahu keadaanku yang sedang begitu kacau.
Seharusnya aku lebih baik sekarang. Tapi pada kenyataannya tidak. Aku sedikit tidak bersemangat untuk menjalani rutinitas kuliah. Walaupun Mega juga sudah bilang kalau kita harus memotivasi diri sendiri untuk terus maju dan berkembang, tapi tetap saja~ semuanya terasa begitu berat. Entah kenapa. Makan juga tidak berselera. Kacau lah.
Niat untuk memperbaiki segala hal sudah aku rencanakan jauh-jauh hari bahkan sebelum aku kembali ke perantauan. Niat itu tiba-tiba saja luntur, hancur karena masalah kecil seperti ini. Come on Sal, sudah hampir dua puluh tahun dan masih mewek kesana-kemari? Hey hey, kalau diingat-ingat aku juga tidak begitu cengeng dibandingkan teman-teman yang lain. Aku cukup mandiri untuk tinggal seorang diri di kosan. Mandiri. Siap menikah. *uhuk*
Sekarang sudah dua minggu lebih aku di sini. Sudah menjadi tanggung jawab untuk masing-masing dari kami yang bersekolah dan merantau di kota ini. Toh pada akhirnya, di waktu yang akan datang, di masa depan aku tidak akan terus menerus berada dalam lingkungan keluargaku. Aku pasti akan pergi karena itu sudah waktunya. Menjadi invidu yang sebenarnya.
Homesick nya sudah sdikit berkurang. Makan juga -kembali- banyak, tapi malasnya yang masih muncul dimana-mana. Aku sadar betapa waktu itu sangat berharga apalagi ketika sudah mulai dewasa seperti ini. Begitu banyak waktu yang terbuang sia-sia di masa muda. Ber-haha-hihi ke sana ke mari. Sadar ketika sudah begini tua. Melakukan yang terbaik. :’)

Welcome back to the jungle Sal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH THANKS AND GOMAWO

Diagnosa yang terlalu dini, Alzeimer?

Hi guys~ Selamat datang kembali ke blog amatir ini. Terimakasih sudah meluangkan waktu kalian untuk bergabung dengan gue disini, menuli...