Annyeong
haseyo~
Biarkan
gue untuk menulis lagi. Mungkin menulis untuk yang kesekian kalinya, dengan
bahasa yang segitu-segitu saja, tidak meningkat dari sebelumnya. Well, boleh
dibilang ini adalah semester terakhir gue menjadi anak SMA, menuntut ilmu sebagai
anak SMA, tentunya. Capek? Atau malah sedih karena ini menjadi semester
terakhir. Dua-duanya! Gue sedih karena mungkin ini saat-saat terakhir gue bisa
mendengar logat Bantul yang lucu, teman-teman yang menyenangkan, sekolah yang
sejuk, guru-guru yang selalu memberi tugas bejibun, kamu~ dan masih banyak
lagi.
Semester
akhir itu berarti ada Ujian Sekolah, dimana kami –siswa kelas 12- akan
mengerjakan soal dari semua mata pelajaran yang kami terima dari kelas sepuluh
sampai kelas dua belas. Ujian praktik, yang melelahkan, ribet dan menyita
banyak waktu. Gue harus membagi waktu antara belajar untuk Usek, Uprak, dan Try Out yang rasanya tidak pernah
selesai. Mundhas.
Kalau
kata Tante sih, “Nikmati aja Sal masa-masa kritismu. Biar kamu bisa ngrasain gimana tepornya jadi anak
SMA,”. Well, tante gue tidak hidup di periode pendidikan yang kacau balau
seperti gue. Mungkin di jamannya, anak sekolah hanyalah berangkat sekolah,
mendengarkan guru, mengerjakan PR, membayar SPP, uts, dan ebtanas. Tan, kalau tante jadi pelajar angkatan 2010,
tante bakalan menjadi angkatan yang paling suffering.
Iyalah! Gimana enggak, brur! Di
angkatan kamilah pertama kali diadakan UASBN Agama. Di angkatan kamilah K13
diberlakukan. Di angkatan kamilah UNCBT dilakukan (di sekolah-sekolah khusus).
By the way,
karena sekolah gue penganut K13 jadi mewajibkan siswanya untuk melakukan Uprak
di semua mata pelajaran. SEMUA MATA PELAJARAN. SEMUA. SEMUA. S E M U A. A A A A
AA~ Gak ada penderitaan yang lebih kejam dari ini, Pak? Bu? Saya lelah~ Mundhas.
Rasanya
gue kayak mau teriak-teriak demo di depan kantor Dinas Pendidikan DIY dan
memprotes semua peraturan yang dibuat menteri baru, pak Anis. Huhu. Bagus sih
bagus, tapi dilihat lagi dong Pak.. siswanya~ mampu tidak? Sanggup tidak?
Menurut gue percuma sih menerapkan sistem kurikulum sebagus apapun kalau nggak
ada keseriusan dari pihak-pihak yang terkait (guru, siswa, dsb).
“Buat
apa demo-demo? Mending bikin petisi online,” si Memey nyeletuk.
Capek
ah. Capek. Banget. Mendingan sih kalau gue nih ya, (pinginnya) memanfaatkan
waktu yang tersisa ini tinggal menghitung hari, dengan usaha, beribadah yang
sungguh-sungguh. Kalau kata nyokap sih ya, “Buat apa belajar sampai mimisan
/maaf korban drama korea barusan lihat orang belajar sampe jam satu pagi terus
mimisan/ kalau nggak pernah beribadah sama Allah? Mubadzir mah usahanya,
sia-sia kalau dibilang,”. Ouw yeah.
Iya
bener sih.
Bener.
Ibu
selalu benar.
Anak
mah ngikut aja.
Melihat
teman-teman yang sudah hampir sampai di garis finish tapi gue masih terseok-seok disini, sendiri. Duh kasihan.
Berusaha sendiri. Usaha untuk tetap berlari di jalur yang ada. Nggak nabrak
pohon, atau menabrak peserta lari yang lain.
Sebenarnya
keputusan untuk sukses itu ada di diri kita masing-masing, kok. Bukan atas apa
yang orang lain lakukan untuk kita. Percuma, kalau orang lain mendukung kita
dengan menggebu-gebu tapi kitanya biasa aja malah terbilang cuek. Tay.
Begitu
saja. Rindu ngeblog.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMAKASIH THANKS AND GOMAWO