Halaman

Senin, 03 April 2023

dreaming #1

Suatu hari yang cerah aku sedang menaiki mobil bersama dua pengawal/bodyguard di bangku bagian depan dan bangku sebelahku. Kebetulan mobil yang kami gunakan semua adalah jenis mobil sedan sehingga satu mobil diisi oleh supir dan dua pengawal. Pengawal yang lebih senior duduk di sebelah supir sementara dia (TENTU SAJA DIA ADALAH PETER SUTHERLAND JR HAHA) duduk di sampingku.

Aku sedang melakukan perjalanan dinas bersama ayahku yang seorang Menteri Pertahanan Negara. Kebetulan ini adalah hari libur, jadi aku memang disuruh untuk ikut. Total mobil yang berangkat ada empat. Aku dan ayahku berada di mobil yang berbeda. Kata ayahku itu adalah prosedur yang harus dilakukan. 

Tiba-tiba ditengah jalan saat kami melewati sebuah perbukitan, mobil kami diserang dan dikepung oleh pasukan pembunuh bayaran dan teroris. Kami tidak tahu mereka bekerja untuk siapa, tapi sepertinya ini adalah suasana genting. Aku panik dan berusaha untuk menelpon seseorang, atau mungkin aku mencoba untuk update di instagram? Mengabari secara random pada dunia bahwa aku sedang dalam bahaya.

Pengawal senior yang duduk di depan bilang, “Posisi kita sangat tidak menguntungkan. Kita bisa saja ditembak dan diserang saat ada di dalam mobil. Lebih baik kita menyerah dan menyerang dengan aba-abaku, oke.” katanya mengabari lewat alat komunikasi. “Sally kau juga harus ikut keluar, ikuti apa mau mereka, mereka tidak akan membunuhmu atau ayahmu. Lakukan seperti yang mereka mau, tapi jangan bereaksi seperti yang mereka inginkan.” 

“Maksudnya?” 

“Jangan berteriak terlalu nyaring, pembunuh berdarah dingin menyukai itu.” Peter menjelaskan.

Oke itu bisa dipahami. Tapi bagaimana kalau mereka memotong kuping atau tangan atau kakiku, apa aku harus diam dan tidak bereaksi apa-apa?

Kami turun dari mobil dan berjalan perlahan menuju lapangan terbuka dengan dikelilingi para pembunuh bayaran itu. Kalau dipikir-pikir kami tidak bisa kabur begitu saja kecuali ada bantuan dari langit. Sekali saja mencoba kabur langsung bisa ditembak dari jauh, mereka semua bersenjata.

Kita panggil bos pembunuh bayaran itu dengan The Killler ya. Dia berdiri di tengah-tengah kami dan memerintahkan semua pengawal untuk melepas pakaian. Sementara ayahku disuruh berlutut di bagian yang berbeda. The Killer menyuruh anak buahnya untuk membawaku kehadapannya dan menanyakan beberapa hal. “Jadi kau putri dari Menteri Pertahanan ya? Hari ini bukan hari keberuntunganmu. Kenapa kau harus ikut dinas ayahmu?”.

“Ha.. hari ini.. hari ini hari libur.” aku tergagap.

“Iya! Aku tahu!” The Killer membentak. Di tangan nya ada semacam luka keloid bekas sayatan. “Yang kutanyakan, kenapa kau harus hadir di hari kematian ayahmu? Padahal kau bisa saja santai di rumah menonton film atau pergi ke mall bersama teman-temanmu?”.

Aku bergidik. Aku disuruh bersikap normal dan menjaga supaya tidak histeris?! Mustahil. Aku menahan rasa takutku dan tetap menatap The Killer dengan tenang, walaupun jemariku gemetar. Aku mencari-cari Peter dan melihatnya sedang melucuti alat komunikasi, senjata, dan pakaian atasnya. Menyisakan celana panjang dan kaos kaki. 

Sementara para pengawal disuruh untuk melakukan kegiatan fisik. Mereka dibentak untuk lari dari ujung ke ujung, lalu merayap, jalan jongkok, dan berguling satu putaran. Saat sampai ke tempat awal akan ada satu pengawal yang langsung dibunuh dengan cara dicekik dengan kawat. Aku menutup mata ngeri melihat pengawal itu berusaha melawan jeratan kawat lalu menggelepar sekarat. Bahkan aku berani bersumpah mendengar suara tulang leher mereka patah. 

Mataku berair.

Para penjaga disuruh melakukan kegiatan fisik lagi. Kulihat Peter sedang memikirkan cara agar bisa mengulur waktu. Jumlah penjaga ada sepuluh ditambah empat supir yang sudah ditembak mati lebih dulu. Kini jumlah mereka tinggal sembilan. 

“Pak Menteri! Anda adalah salah satu anggota kabinet yang paling disegani oleh presiden. Jadi aku akan mulai menghabisi orang-orang ‘penting’ di negara ini.” The Killer mendekati ayahku yang berlutut dan mengusap-usap kepalanya seperti anjing. Ayahku bersikap biasa meskipun bisa kulihat dari raut wajahnya juga panik sesekali melihatku.

“Anda khawatir aku membunuh putrimu yang sangat berharga ini ya?” The Killer berjalan ke arahku dan meminta cambuk pada salah satu anak buahnya.

“Lepas bajumu.” 

Pengawal tersisa delapan.

Aku mulai melepas baju, meskipun ragu tapi aku melihat Peter mencoba meyakinkan dengan tatapan ‘sudah lakukan saja’. Aku melepas baju meninggalkan bra dan short. Lalu tanpa aba-aba The Killer mencambuk punggungku dengan sangat kencang. Suara sabetan itu mengheningkan suasana. Semua anak buah The Killer berhenti menyiksa dan para pengawal pun juga berhenti sejenak dari aktivitas fisiknya.

Aku pernah melihat orang dihukum cambuk dan orang itu KO di sabetan ke sepuluh. Yang kurasakan saat ini adalah panas dan perih di punggung. Sepertinya akan berbekas atau butuh berhari-hari untuk bisa sembuh. Aku ingin sekali berteriak atau menangis, tapi aku ingat kata-kata Peter untuk tidak memberikan apa yang mereka inginkan. Jadi aku hanya menggeram menahan sakit, tapi air mata ini tidak bisa ditahan dan meleleh begitu saja dipipiku. 

The Killer memerintahkan semua orang untuk berhenti. “Lihat dia untuk menjadi pelajaran untuk kalian semua. Aku tidak pernah membedakan antara perempuan atau laki-laki, apalagi jika masalah memberi siksaan..” 

CETASSSS! 

The Killer mencambuk lagi. Yang ini terasa lebih sakit dan membuat kakiku bergetar. Aku masih berusaha untuk berdiri tegak. Lumayan, ini menyita waktu dan belum ada pengawal yang dicekik lagi. Ayahku menatap dengan ngeri dan ingin bangkit dari posisinya, tapi mungkin ia juga sudah di briefing oleh pengawal senior, apapun yang terjadi jangan terpancing oleh penjahat. Sementara Peter juga cemas, melihat ke arahku, ayahku, pengawal senior, lalu melihat langit. Apa Peter menunggu bantuan dari langit?

“Berteriaklah kalau memang sakit! Jangan sok kuat, jangan sok jadi tangguh untuk ayahmu.” bisik The Killer sebelum ia mengayunkan cambuknya untuk yang ketiga kalinya. Kali ini terasa lebih personal karena perihnya seperti menembus daging. 

Aku agak terhuyung ke depan, berusaha menahan berat tubuh untuk tetap berdiri tegak, tapi itu mustahil karena tenagaku seperti hilang dan menguap. Aku terjatuh ke depan dan rasanya seperti slow motion. Ayahku panik dan berusaha bangkit. 

Sebelum semuanya terdengar begitu jelas karena pandanganku tiba-tiba menjadi kabur dan merasa mual ingin muntah, aku mendengar suara tembakan dari beberapa penjuru. Lalu juga terdengar suara anak buah The Killer berteriak “Attack!!!!”. Rupanya Peter dan pengawal senior telah memanggil bala bantuan secara diam-diam. 

The Killer menyingkir diamankan oleh anak buahnya. Wajahnya penuh amarah dan kebencian. Tanganku terangkat berusaha menggapai apapun atau memanggil ayahku di tengah baku hantam itu. Kemudian aku merasa seseorang membalik tubuhku dan menggotongku ke balik mobil untuk berlindung. Itu Peter. 

“Hey hey! Kau bisa mendengarku?! Hey! Kau bisa berjalan?” Peter mengguncangkan tubuhku tapi yang bisa kurasakan hanya perih dan gemetar di seluruh tubuh. Aku mengangguk bohong. Peter memapahku tapi aku lemas dan terduduk. “Aku nggak bisa.” 

Peter diam beberapa detik kemudian meraih rompi anti peluru di dalam mobil dan memakaikannya padaku. “Kau bagaimana?” tanyaku. “Rompinya cuma ada satu.” Saat Peter akan berpindah untuk mengambil senjata di bagian mobil yang lain aku meraih tangannya dan memaksa dia untuk memakai rompi itu. “Kalau kau mati aku lebih mati. Jangan mati.” Akhirnya Peter mau memakai rompi itu dan mulai menghalau anak buah The Killer. 

Seperti ada cahaya ilahi yang sangat terang, aku tidak bisa melihat apa-apa. Kalau yang kubaca sih, ini adalah tanda-tanda mau pingsan. Beberapa detik kemudian aku pingsan dan tidak mendengar apa-apa lagi. Yang kutahu hari itu akan menjadi pengalaman traumatis dalam hidupku.

Aku terbangun di sebuah bangsal rumah sakit. Seperti anak pejabat lainnya pasti aku akan mendapat kamar rawat inap VVIP yang fasilitasnya seperti hotel bintang lima. Aku mengerjapkan mata dan berusaha mengenali lingkungan di sekitarku. Di depan ranjang ada TV besar yang menayangkan berita mengenai penyerangan kami. “Menteri Pertahanan dan putrinya berhasil selamat dari penyerangan teroris The Killer yang mengincar seluruh anggota kabinet Presiden 2023.”

“Sudah bangun?” suara dari sudut ruangan mengagetkanku. 

“Peter?” 

Ia berjalan mendekat dan memeriksa denyut nadiku. “Sepertinya kau sudah benar-benar sadar. Bagus. Apa yang kau rasakan sekarang?”.

“Mmm.. pusing. Dan perih..”. Aku baru menyadari kalau seperti pasien-pasien rumah sakit lainnya yang memakai baju pasien, aku tidak memakai apa-apa selain piyama rumah sakit. 

“Dokter bilang itu akan memakan waktu seminggu atau lebih untuk lukanya benar-benar kering. Ini salep nya, dioleskan pagi dan malam. Panggil saja suster atau aku kalau kau butuh bantuan.” kata Peter menjelaskan.

Tiba-tiba aku teringat dengan tragedi itu dan mendadak cemas. Tapi aku berusaha untuk tidak menampakkannya pada Peter dan malah memilih untuk berbasa-basi, “Kau terdengar seperti suster.”

Kami terdiam dan sepertinya Peter menyadari jika tanganku tremor dan mataku berair. “Kenapa kau tidak berteriak atau melawan saat The Killer melakukan itu? Bukan kah itu sakit?” 

Agak kaget, aku menjawab Peter dengan suara agak tinggi, “Loh kan kau yang bilang untuk jangan berteriak, jangan drama, dan jangan memberikan apa yang mereka inginkan? Aku berusaha setengah mati untuk menahan rasa sakit itu. Aku menahan diri untuk tidak jatuh dicambukan pertama walau rasanya seperti tubuhku dipisah jadi dua. Kau pikir aku tidak histeris melihat dua orang dicekik sampai mati? Kau pikir..” 

Aku diam karena Peter mendekapku sambil mengatakan, “Sekarang kau boleh meluapkan semuanya. Kau sudah melakukannya dengan baik. Good job.”

Oh tentu saja setelah Peter bilang begitu rasa sesak di dada ini langsung meledak dan mengeluarkan suara-suara menangis yang histeris, terisak, dan terbatuk-batuk. Setelah tiga menit yang panjang dan melelahkan, aku melepas pelukan Peter dan tidak lupa untuk bilang terima kasih.

“Sama-sama, aku akan memanggil dokter dulu. Pencet tombol darurat kalau kau merasa dalam bahaya.” kata Peter memastikan. Aku mengangguk sambil menyeka ingus dan air mata. 

Lelah sekali ya jadi anak pejabat? Sudah hidup tidak tenang karena selalu merasa dalam ancaman, kemana-mana diawasi pengawal/bodyguard, teman terbatas, dan mengalami pencambukan padahal tidak melakukan dosa apapun. Sungguh jika disuruh memilih, aku akan memilih untuk jadi anak pegawai biasa atau tukang roti daripada harus punya ayah seorang pejabat yang bahkan tidak setiap hari bisa bertatap muka. WAKE UP!

-tamat- 

Tanjungpinang, 2 April 2023
Mimpi ini dipengaruhi oleh serial yang baru saja kutonton berjudul The Night Agent. 😎





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH THANKS AND GOMAWO

Diagnosa yang terlalu dini, Alzeimer?

Hi guys~ Selamat datang kembali ke blog amatir ini. Terimakasih sudah meluangkan waktu kalian untuk bergabung dengan gue disini, menuli...